Jakarta - Di tengah dinamika ekonomi global yang menuntut adaptabilitas tinggi, kualitas persaingan usaha di Indonesia menghadapi tantangan krusial. Bukan sekadar penegakan hukum, melainkan bagaimana ekosistem regulasi mampu menjadi katalis bagi mengatasi hambatan usaha dan kemudahan investasi.
Kesimpulan ini menjadi sorotan utama dalam gelaran The Third Jakarta International Competition Forum (JICF) yang diselenggarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hari ini (11/12) di Jakarta. Forum internasional ini menegaskan bahwa pendekatan konvensional dalam pengawasan persaingan usaha tidak lagi relevan jika berjalan sendiri-sendiri. JICF ke-3 menghasilkan konsensus strategis: peningkatan kualitas persaingan usaha nasional mutlak memerlukan reformasi regulasi, kolaborasi lintas lembaga, dan optimalisasi teknologi informasi untuk pencegahan.
“Kita menyimpulkan
bahwa peningkatan kualitas persaingan usaha nasional perlu didukung perubahan
regulasi yang berorientasi pada pemberantasan hambatan masuk usaha atau
bottleneck dan kemudahan investasi, serta membutuhkan collaborative efforts dan
optimalisasi teknologi informasi lintas lembaga,” tegas Wakil Ketua KPPU, Aru
Armando pada penutupan kegiatan. Sorotan pertama tertuju pada tumpang tindih
regulasi yang kerap menjadi "biaya tinggi" bagi pelaku usaha.
Regulasi di bidang ekonomi ke depan tidak boleh lagi menjadi penghambat
(barrier to entry), melainkan harus bertransformasi menjadi kerangka kerja yang
menjamin kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi.
Perubahan regulasi
ini harus bergeser dari pendekatan yang bersifat rigid menjadi lebih adaptif
terhadap model bisnis baru. Tujuannya jelas, untuk menciptakan lapangan bermain
yang setara (level playing field) bagi pendatang baru maupun pemain lama, sehingga
inovasi dapat tumbuh tanpa terganjal aturan yang kedaluwarsa. Poin krusial
kedua adalah urgensi collaborative efforts. Persaingan usaha adalah isu
multidimensi yang tidak bisa diselesaikan oleh KPPU sendirian. JICF ke-3
menggarisbawahi bahwa sekat-sekat antilembaga atau ego sektoral harus
diruntuhkan. Sinergi antara otoritas persaingan, kementerian teknis, dan
pemerintah daerah menjadi kunci. Kebijakan di satu sektor tidak boleh
mendistorsi pasar di sektor lain.
Kolaborasi ini diperlukan untuk menyelaraskan
kebijakan ekonomi makro dengan prinsip persaingan usaha yang sehat, memastikan
bahwa setiap kebijakan publik yang lahir benar-benar berorientasi pada
kesejahteraan umum, bukan kepentingan segelintir kelompok. Terakhir, forum ini
menyoroti peran vital teknologi informasi. Di era ekonomi digital, pengawasan
manual tak lagi memadai. Optimalisasi teknologi lintas Lembaga untuk memperkuat
pencegahan, khususnya dalam pencegahan kolusi di pengadaan publik, akan menciptakan
sistem deteksi dini (early war
pengawasan manual
tak lagi memadai. Optimalisasi teknologi lintas Lembaga untuk memperkuat
pencegahan, khususnya dalam pencegahan kolusi di pengadaan publik, akan
menciptakan sistem deteksi dini (early warning system) terhadap perilaku
antipersaingan. Pemanfaatan teknologi bukan sekadar digitalisasi dokumen,
melainkan interoperabilitas data antar-instansi pemerintah. Transparansi data
ini akan memangkas celah persekongkolan tender maupun praktik kartel yang
selama ini merugikan konsumen dan menghambat efisiensi ekonomi nasional.
Melalui JICF ke-3,
KPPU mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk melihat persaingan usaha bukan
sebagai ancaman, melainkan sebagai mekanisme untuk menyehatkan struktur pasar.
Pasar yang sehat akan melahirkan harga yang kompetitif, kualitas produk yang
lebih baik, dan ragam pilihan bagi konsumen. Reformasi ini adalah langkah
strategis untuk memastikan Indonesia tidak terjebak dalam ekonomi biaya tinggi
dan siap berkompetisi di kancah global. (relis KPPU)



